Tuesday, January 19, 2016

Lahan Basah di Indonesia

Aerial view of the Pantanal in June, Brazil




Mengenai Lahan Basah

Mendengar istilah “lahan basah” mungkin tidak asing bagi mahasiswa pertanian. Mereka yang biasa berbudidaya tanaman pasti langsung terpikir tentang agroekosistem tergenang, yaitu sawah. Tapi apakah hanya sampai disitu pengertian dari lahan basah itu sendiri. Jika dipandang dari sisi masyarakat yang berkecimpung dibidang pertanian maka lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), payau, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.

Lahan basah adalah wilayah daratan yang digenangi air atau memiliki kandungan air yang tinggi, baik permanen maupun musiman. Ekosistemnya mencakup rawa, danau, sungai, hutan mangrove, hutan gambut, hutan banjir, limpasan banjir, pesisir, sawah, hingga terumbu karang. Lahan ini bisa ada di perairan tawar, payau maupun asin, proses pembentukannya bisa alami maupun buatan.

Lahan basah memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia. Ekosistemnya menyediakan air bersih, keanekaragaman hayati, pangan, berbagai material, mengendalikan banjir, menyimpan cadangan air tanah, dan mitigasi perubahan iklim. Lahan jenis ini juga menjadi habitat sejumlah besar tumbuhan dan satwa, relatif lebih banyak dibanding jenis ekosistem lain, kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Hal ini yang membuat Badan Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO) mengagas sebuah konvensi yang dikenal Konvensi Ramsar. Menurut Konvensi Ramsar, pengertian lahan basah adalah:

“Area rawa, lahan gambut atau air, baik alami atau buatan, permanen atau sementara, dengan air yang statis atau mengalir, segar, payau atau asin, termasuk area air laut dengan kedalaman saat surut tidak melebihi enam meter.” Ekosistem lahan basah terbentuk akibat adanya genangan air yang terjadi secara terus menerus, baik permanen maupun musiman. Kemudian biota yang ada di areal tersebut beradaptasi terhadap kondisi yang basah. Keadaan alam dan biota tersebut membentuk sebuah ekosistem khas disebut lahan basah. 

Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain.

Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Baik sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan, maupun --di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi. (Anonim a, 2014)

Upaya Konservasi Lahan Basah
Masyarakat dunia mulai mengangkat keberadaan lahan basah dalam kebijakan global sejak tahun 1960-an. Sekelompok ahli dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengkhawatirkan kondisinya yang semakin memburuk. Pada tahun 1971 digelar konvensi pertama lahan basah yang diikuti 18 negara. Konvensi diselenggarakan di kota Ramsar, Iran, menghasilkan sebuah kesepakatan Ramsar. Pada tahun 1975 konvensi tersebut mendapatkan kekuatan politik yang mengikat karena diakui oleh UNESCO. Setahun berikutnya, diadakan konferensi Contracting of Parties (COP) pertama yang diiukti 38 negara, dan selalu digelar hingga saat ini (Risnandar, 2015).

Lahan Basah di Indonesia

Luas lahan basah di dunia diperkirakan lebih dari 8,5 juta km2 atau lebih dari 6% dari total luas permukaan bumi. Indonesia memiliki setidaknya 30,3 juta ha lahan basah yang tersebar di berbagai penjuru.
Total luas lahan basah ini terus mengalami pengurangan. Sejak lama, lahan basah banyak beralih fungsi sebagai daerah pemukiman, pertanian, dan eksploitasi lainnya. Tidak bisa dipungkiri, Ibukota Jakarta pun sebelumnya adalah wilayah rawa-rawa yang berarti daerah lahan basah.
Saat ini, lahan gambut dan mangrove, menjadi dua jenis lahan basah yang mengalami kerusakan serius di berbagai wilayah Indonesia. Hutan rawa gambut di Sumatra dan Kalimantan, banyak dikonversi menjadi perkebunan dan lahan pertanian. Pun ribuan hektar hutan mangrove, telah ditebangi dan dikonversi untuk kegiatan budidaya perairan.
Untuk menyelamatkan lahan basah di seluruh dunia, pada 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran, disepakatilah perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan. Perjanjian ini dikenal sebagai Konvensi Ramsar atau The Convention on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat. Indonesia pun telah meratifikasi konvensi ini melalui Keputusan Presiden RI No. 48 tahun 1991. Selain itu setiap tahun diadakan peringatan Hari Lahan Sedunia atau World Wetlands Day.

Dengan potensi wilayah lahan basah yang cukup besar sekaligus sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar, Indonesia telah menetapkan berbagai wilayah lahan basahnya sebagai kawasan strategis yang dilindungi. 7 situs diantaranya diakui dan ditetapkan sebagai Situs Ramsar dengan total luas wilayah mencapai 1,3 juta ha. Ketujuh Situs Ramsar di Indonesia tersebut adalah Taman Nasional Berbak (Jambi), Danau Sentarum (Kalimantan Barat), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (DKI Jakarta), Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Nasional Wasur (Papua), dan Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) (Alamendah, 2015).



Sumber :

Alamendah. 2015. Mengenal Lahan Basah Wetland Indonesia. http://alamendah.org/2015/01/11/mengenal-lahan-basah-wetland-indonesia/. Diakses pada tanggal 20 Januari 2016

Risnandar. 2015. Lahan Basah.https://jurnalbumi.com/lahan-basah/

Anonim a. 2014. Lahan Basah. http://id.wikipedia.org/wiki/Lahan_basah. Diakses pada tanggal 14 Januari 2016.