Mendengar
istilah “lahan basah” mungkin tidak asing bagi mahasiswa pertanian. Mereka yang
biasa berbudidaya tanaman pasti langsung terpikir tentang agroekosistem
tergenang, yaitu sawah. Tapi apakah hanya sampai disitu pengertian dari lahan
basah itu sendiri. Jika dipandang dari sisi masyarakat yang berkecimpung
dibidang pertanian maka lahan basah
atau wetland adalah wilayah-wilayah
di mana tanahnya jenuh dengan air,
baik bersifat permanen (menetap) atau musiman. Wilayah-wilayah itu sebagian
atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal.
Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa
(termasuk rawa bakau), payau, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong
ke dalam air tawar, payau atau asin.
Lahan basah adalah wilayah daratan yang digenangi air
atau memiliki kandungan air yang tinggi, baik permanen maupun musiman.
Ekosistemnya mencakup rawa, danau, sungai, hutan mangrove, hutan gambut, hutan
banjir, limpasan banjir, pesisir, sawah, hingga terumbu karang. Lahan ini bisa
ada di perairan tawar, payau maupun asin, proses pembentukannya bisa alami
maupun buatan.
Lahan basah memiliki peran penting dalam kehidupan
umat manusia. Ekosistemnya menyediakan air bersih, keanekaragaman hayati,
pangan, berbagai material, mengendalikan banjir, menyimpan cadangan air
tanah, dan mitigasi perubahan iklim. Lahan jenis ini juga menjadi
habitat sejumlah besar tumbuhan dan satwa, relatif lebih banyak dibanding
jenis ekosistem lain, kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Hal
ini yang membuat Badan Pendidikan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa
Bangsa (UNESCO) mengagas sebuah konvensi yang dikenal Konvensi Ramsar. Menurut
Konvensi Ramsar, pengertian lahan basah adalah:
“Area rawa, lahan gambut atau air,
baik alami atau buatan, permanen atau sementara, dengan air yang statis atau
mengalir, segar, payau atau asin, termasuk area air laut dengan kedalaman saat
surut tidak melebihi enam meter.” Ekosistem lahan basah terbentuk akibat adanya genangan
air yang terjadi secara terus menerus, baik permanen maupun musiman. Kemudian
biota yang ada di areal tersebut beradaptasi terhadap kondisi yang basah.
Keadaan alam dan biota tersebut membentuk sebuah ekosistem khas disebut lahan
basah.
Lahan
basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh
berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat
tetumbuhan), seperti hutan
rawa air tawar, hutan
rawa gambut, hutan bakau, paya
rumput dan lain-lain.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah yang
merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi
menjadi lahan-lahan pertanian. Baik
sebagai lahan persawahan, lokasi pertambakan, maupun --di Indonesia-- sebagai wilayah transmigrasi. (Anonim a, 2014)
Upaya Konservasi Lahan Basah
Masyarakat dunia mulai mengangkat keberadaan lahan
basah dalam kebijakan global sejak tahun 1960-an. Sekelompok ahli dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) mengkhawatirkan kondisinya yang semakin
memburuk. Pada tahun 1971 digelar konvensi pertama lahan basah yang diikuti 18
negara. Konvensi diselenggarakan di kota Ramsar, Iran, menghasilkan sebuah
kesepakatan Ramsar. Pada tahun 1975 konvensi tersebut mendapatkan kekuatan
politik yang mengikat karena diakui oleh UNESCO. Setahun
berikutnya, diadakan konferensi Contracting of Parties (COP)
pertama yang diiukti 38 negara, dan selalu digelar hingga saat ini (Risnandar,
2015).
Lahan Basah di Indonesia
Luas
lahan basah di dunia diperkirakan lebih dari 8,5 juta km2 atau lebih dari 6%
dari total luas permukaan bumi. Indonesia memiliki setidaknya 30,3 juta ha
lahan basah yang tersebar di berbagai penjuru.
Total
luas lahan basah ini terus mengalami pengurangan. Sejak lama, lahan basah
banyak beralih fungsi sebagai daerah pemukiman, pertanian, dan eksploitasi
lainnya. Tidak bisa dipungkiri, Ibukota Jakarta pun sebelumnya adalah wilayah
rawa-rawa yang berarti daerah lahan basah.
Saat
ini, lahan gambut dan mangrove, menjadi dua jenis lahan basah yang mengalami
kerusakan serius di berbagai wilayah Indonesia. Hutan rawa gambut di Sumatra
dan Kalimantan, banyak dikonversi menjadi perkebunan dan lahan pertanian. Pun
ribuan hektar hutan mangrove, telah ditebangi dan dikonversi untuk kegiatan
budidaya perairan.
Untuk menyelamatkan lahan basah di
seluruh dunia, pada 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran, disepakatilah
perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara
berkelanjutan. Perjanjian ini dikenal sebagai Konvensi Ramsar atau The Convention on Wetlands of
International Importance, especially as Waterfowl Habitat.
Indonesia pun telah meratifikasi konvensi ini melalui Keputusan Presiden RI No.
48 tahun 1991. Selain itu setiap tahun diadakan peringatan Hari Lahan Sedunia
atau World Wetlands Day.
Dengan potensi wilayah lahan basah
yang cukup besar sekaligus sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi
Ramsar, Indonesia telah menetapkan berbagai wilayah lahan basahnya sebagai
kawasan strategis yang dilindungi. 7 situs diantaranya diakui dan ditetapkan
sebagai Situs Ramsar dengan
total luas wilayah mencapai 1,3 juta ha. Ketujuh Situs Ramsar di Indonesia
tersebut adalah Taman Nasional Berbak (Jambi), Danau Sentarum
(Kalimantan Barat), Suaka Margasatwa Pulau Rambut (DKI Jakarta), Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman Nasional Sembilang (Sumatera
Selatan), Taman Nasional Wasur (Papua), dan Taman Nasional Tanjung Puting
(Kalimantan Tengah) (Alamendah, 2015).
Sumber :
Sumber :
Alamendah. 2015. Mengenal Lahan Basah Wetland
Indonesia. http://alamendah.org/2015/01/11/mengenal-lahan-basah-wetland-indonesia/.
Diakses pada tanggal 20 Januari 2016
Risnandar. 2015. Lahan Basah.https://jurnalbumi.com/lahan-basah/